Kamis, Juni 19, 2014

Penggunaan Dolar AS Marak Bikin Rupiah Ambruk

Sumber berita: finance.detik.com

uang rupiah
EquityWorld Futures: Kondisi perekonomian negara masih penuh ketidakpastian. Maraknya transaksi non rupiah, seperti dolar Amerika Serikat (AS) di dalam negeri, berpengaruh buruk terhadap perekonomian domestik. Terutama untuk pergerakan nilai tukar.

Alasannya, penggunaan dolar secara terus menerus terjadi, membuat kebutuhan pasokan dolar akan meningkat. Apalagi dolar itu dilepas ke luar negeri untuk berbagai kebutuhan.

"Kalau demand (permintaan) valas tinggi, itu akan menyebabkan rupiah menjadi rapuh," kata Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Ronald Waas pada seminar bertajuk Rupiah Lambang Kedaulatan Negara di Batam, Rabu (18/6/2014)

Masalah ini kemudian tidak hanya berhenti pada pelemahan nilai tukar. Tapi akan berlanjut mempengaruhi tingkat inflasi yang artinya mampu menekan daya beli masyarakat secara luas.

"Selain daya beli yang terganggu, inflasi juga akan mempengaruhi penetapan tingkat suku bunga dan skala ekonomi yang lebih luas. Seperti circle. Tapi harus diputus. Kalau tidak, orang akan tetap menggunakan valas," jelasnya.

Pada kesempatan yang sama pengamat ekonomi Farial Anwar menambahkan pengaruh lainnya adalah pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Menurutnya ada anomali bisa disandingkan dengan pergerakan nilai tukar.

"Ketika IHSG menguat dimana asing menjadi Net Buyer, Hot Money kembali masuk ke pasar keuangan Indonesia dan ada penjualan dolar AS, seharusnya rupiah menguat. Bukan malah melemah seperti sekarang," imbuh Farial.

Pihak yang terkena secara langsung dampak dari pelemahan rupiah adalah importir yang tertekan inflasi. Kalangan pengusaha yang masih mengimpor bahan baku dan terutama perusahaan dengan kepemilikan utang valas yang besar.

Kemudian adalah pemerintah. Pelemahan rupiah memberi tekanan terhadap belanja subsidi energi, meliputi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan listrik. Kondisi tersebut sudah terlihat dalam beberapa tahun terakhir.

"Semakin melemah rupiah, anggaran negara untuk subsidi naik terus. Kan BBM itu impor," tukasnya.

Ini pun tak lepas dari rezim devisa bebas yang sudah ditanamkan. Sistem nilai tukar mengambang bebas, nilai ekspor impor tidak bisa dipakai untuk mengukur kekuatan rupiah. Kemudian hedging valas tak banyak dilakukan perusahaan karena dinilai memakan biaya yang besar.

"Terakhir adalah ketergantungan terhadap dolar AS sangat besar, belum ada alternatif mata uang lain," tegas Farial.

Updated at : Kamis, Juni 19, 2014

0 komentar:

Posting Komentar